Skip to main content

Posts

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan
Recent posts

Barasukma (26)

"Lusa di kedai seberang gerbang, ya?" Mereka sepakat. Seorang perempuan lelah bertukar tanya jawab klise dan rayuan semu sebatas melalui pesan singkat. Tidak perlu menunggu 5 menit untuk kamu diambil lalu dibersihkan, seperti gorengan jatuh sampai dia bilang "Aduh sayang," kan? Komitmennya tak kunjung diberi temu dengan alasan yang tidak mengada-ada tapi selalu diadakan saja. Bisa karena capek kuliah, dikejar deadline laporan, bahkan pesan yang tak terbaca karena bermain game hingga larut malam lalu ketiduran. Bagaimana tidak ragu? Perempuan itu masih duduk ditemani segelas teh dengan jahe yang mengambang. Sengaja tidak dia tinggalkan pesan untuk menguji seberapa janji mereka tidak disepelekan. Sementara si pria asik cekikikan bersama rekan satu kontrakan. Bergemuruh dalam hati mereka niat masing-masing. Tanpa satu menyadari bahwa dia sedang dinanti yang lain. 2 jam berlalu. Perempuan itu tidak menangis. Marah, kesal, namun dia hanya orang

Barasukma (25)

Dia tak pernah merawat diri dan makan apa saja. Sampai yang dulunya 45 kini menjadi 82. Jangankan berias, dia sibuk mencuci, memasak, makan, menonton tv, mengangkat jemuran, menonton tv lagi, melipat baju, menonton tv lagi, lalu tidur. Esok hari, terulang hal yang sama sampai tak ada komunikasi hangat dengan sang suami. Di siang yang sama. Seorang bapak mengeluhkan pada kawannya tentang si gendut yang pagi ini ngomel lagi. Katanya akhir bulan harus bayar tagihan listrik daripada disegel karena tunggakan. Bagi bapak itu si gendut yang dia sebut tadi adalah wanita yang paling tidak mengerti beratnya mencari rezeki. Tak lama seorang wanita bergincu merah merona di siang bolong datang menghampiri. "Bojoku wes mangkat nyopir." Lalu keduanya berboncengan ke arah gang samping warung mie ayam. Sebuah motor besar berhenti tepat di hadapan seorang gadis. Segera dia naik dan menempelkan tubuhnya ke punggung pengemudi. Bermodal motor dari orang tua si pengemudi, dia bawa anak ga

Barasukma (24)

Jangan menyesali sakit hati, toh kamu akan jatuh cinta lagi. Beberapa dari mereka heran berapa kali aku dikatakan dekat dengan orang. Susah menjadi perempuan. Menangisi patah hati, dianggap menyedihkan. Mencoba membuka diri, dikira gampangan. Mau memilih bertahan pada keragu-raguan? Berjuang meski disakiti berkali-kali? Atau menunggu dia kembali padahal kamu tidak tahu apa dia tidak mendekati wanita baru? Tragis. Tentu aku bukan manusia yang demikian. Aku lebih memilih  menyudahi secara terang-terangan. Perkara setelahnya aku bertemu pria baru,  itu urusan Tuhan. Singkat cerita aku bertemu kamu. Awal yang gengsi karena mindset "Halah, palingan kamu juga setipe dengan pria di luar sana." Brengseknya aku jatuh cinta lagi. Serasa seperti ingin membuat jutaan sajak romantis tapi berujung pada jijik sendiri. Ingin juga rasanya aku tulis deretan kebaikanmu seperti pria paling mempesona di dunia. Tidak jadi. Malu. Nanti kalau tiba-tiba aku sedang marah eh tidak sengaja

Barasukma (21)

Aku rindu Ibu. Di sebuah taman, sekitar satu bulan lalu, aku menyapanya. Ia tak mendengar suaraku. Ia sedang sibuk mengerjakan laporannya. Aku tak melihat jelas wajahnya. Tapi aku sangat hafal suaranya yang lantang dan ia suka tertawa. Kalau Ayah, aku justru jarang berjumpa dengannya. Terakhir kami berkumpul di kamar. Pertama kali mengenaliku, Ibu menangis, mungkin saking terharunya. Sementara ayah jarang mengunjungiku setelahnya. Tidak dengan hari ini. Ayah datang menyapaku. Ia menanyakan kabarku, mengirim makanan, dan mengajakku bermain balon-balon berwarna merah. Tiba-tiba aku ditarik. Sakit sekali rasanya. Pertama kalinya aku melihat ibu dengan jelas. Kenapa ia tidak tertawa seperti biasanya? Ia memejamkan mata dan ayah duduk memegangiku serta balon-balon merah di sisinya. Lalu semuanya gelap. *** “Sudah keluar?” “Sudah.” “Biar aku yang kuburkan.” ***